Sabtu, 24 April 2010

KIRAB ADAT TINGALAN DALEM KGPAA PAKU ALAM IX

Berikut ini adalah liputan kegiatan Podjok (Paguyuban Onthelis Djogjakarta) yang diundang secara resmi untuk memeriahkan Kirab Adat dalam rangka “Tingalan Dalem” (Ulang Tahun) 72 Tahun KGPAA Paku Alam IX di Yogyakarta Sabtu 15 Maret 2008 sore hari. Acara Kirab Adat dimulai dari Pura Pakualaman Yogyakarta menyusuri jalan-jalan di kota Yogyakarta, Keluarga Besar Pura Pakualaman tampil penuh dengan 3 kelompok serdadu kraton, kereta-kereta pusaka, kavaleri kuda, kavaleri gajah, didampingi kontingen tamu drum band sekolah2, tim barongsai, tim2 kesenian setempat dan tentu saja kontingen Podjok. Podjok tampil dengan kostum jadul yakni surjan dan seragam pejuang 45 dipimpin langsung oleh Kang Towil (Liputan Sahid Nugroho)

SERANGAN OEMOEM ALA PODJOK

Ritual bulanan Podjok (Paguyuban Onthel Djokjakarta) yang diselenggarakan setiap hari minggu pertama setiap bulan, pada kesempatan Maret 2008 ini dipilih thema perjuangan yakni dalam rangka memperingati peristiwa bersejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang diprakarsai oleh Sri Sultan HB IX dan dilaksanakan oleh komandan lapangan Kolonel Soeharto. Acara diawali dengan berkumpul bersama di depan Monumen SO 1 Maret jam 6.00 pagi, kemudian setelah briefing oleh Ketua Podjok Bung Towil dan cerita tempo Doeloe oleh Bung Fauzan, konvoi diberangkatkan dengan mengambil rute Jl. P. Senopati, Jl. Sultan Agung, Jl. Gunung Ketur, Jl. Dr. Soetomo, Jl. Prof. Yohanes dan sampailah di Angkringan Gama Lab Bisnis FEB-UGM. Penampilan anggota Podjok yang serba Jadul dengan sepeda-sepedanya yang antik cantik membuat para pengunjung Pasar Minggu Pagi Kampus UGM tercengang-cengang. Rombongan Podjok kemudian dijamu sarapan opor ayam dan hiburan karaoke oleh tim panitia Angkringan Gama yang kebetulan sedang menyelenggarakan Program Promosi Untuk Komunitas. Seusai acara di Angkringan Gama rombongan melakukan konvoi lagi menyusuri Kampus UGM, Jl. Cik Di Tiro, Jl. jendral Sudirman, Jl. P. Mangkubimi, Jl. Malioboro dan finish di Monumen SO 1 Maret kembali. Hari itu adalah hari yang cukup indah untuk sebuah kampanye anti global warming sekaligus mengajak masyarakat Jogjakarta untuk mengembalikan jati diri kota sebagai kota sepeda (Liputan Sahid Nugroho).

GALERI 1

SEPEDA ONTHEL ...RIWAYATMU KINI (Jumat, 18/1/08) - Sahid

Sepeda onthel yang dulunya pernah berperan menjadi kendaraan utama di perkotaan sampai tahun 1970-an, sekarang nasibnya telah berubah menjadi alat transportasi umum di pedesaan. Sepeda onthel yang memiliki konstruksi tinggi, besar dan kuat memang cocok untuk menanggung beban maksimal baik untuk mengangkut hasil pertanian, rumput untuk makan ternak, barang dagangan, ayam ternak, burung peliharaan, dan lain sebagainya. Bukan tidak mungkin, suatu saat sepeda onthel akan merajai kembali daerah perkotaan seiring dengan harga minyak bumi yang semakin meroket. Silahkan menikmati potret-potret sepeda onthel dalam berbagai episode kehidupan pedesaan.

TEST RIDE: SIMPLEX ZWEEFIETS

Simplex Zweefiets adalah sebuah fenomena tersendiri dalam sejarah industri sepeda di Belanda. Meskipun sepeda ini adalah tergolong produk gagal, namun dari sisi kreativitas desain patut diacungi 2 jempol. Sepeda yang diciptakan oleh W. Van Touren ini (Andyt, 2007), mengadopsi frame model plat bertumpuk yang kemudian ketika ditunggangi secara alami menciptakan ayunan pada posisi sadel. Barangkali tidak ada varian serupa dari merek lain yang pernah diproduksi selain produk Simplex Amsterdam ini. Hal lain yang ditemukan pada sepeda ini adalah bahwa tidak ada informasi nomer rangka sedikitpun, meskipun saya sudah berusaha mencari pada posisi tabung bawah sadel, bawah sarang as tengah dan posisi potensial lainnya. Hal yang menurut saya aneh, karena sepeda produksi Belanda selalu memiliki nomer kode produksi seminimal apapun.

Keluhan ketidaknyamanan tunggangan yang selama ini menjadi klaim kegagalan produk ini memang terbukti ketika saya mencoba sepeda ini untuk jarak yang signifikan. Ketika naik sepeda ini, di sepanjang perjalanan saya selalu berkonsentrasi mengatur titik berat ideal agar posisi tiang sadel terletak pada titik tengah antara posisi ayunan teratas dan terbawah. Dengan posisi tengah seperti itu memang sesekali dirasakan ayunan yang ideal sebagaimana kalau kita menunggangi kuda. Namun suasana kenyamanan akan berubah total ketika saya harus men-rem sepeda secara mendadak. Ayunan sadel akan langsung terhentak ke atas sesuai hukum fisika yang berlaku. Dengan demikian saya harus segera mencari posisi berdiri yang darurat agar sepeda tidak jatuh.

Kemudian dari pengalaman mengemudi sepeda ini juga terkonfirmasi bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara jalan naik atau jalan menurun, dengan posisi ayunan sadel. Pada kondisi jalan naik atau menurun, pada posisi kaki sedang tidak mengayuh, posisi ayunan sadel sepenuhnya tergantung pada pengaturan titik berat badan. Kalau posisi "angler" tentu saja posisi sadel akan dibawah karena titik berat badan secara alami akan diposisikan ke belakang. Sebaliknya, pada saat kaki sedang aktif mengayuh, pada jalan menurun maupun jalan naik, posisi ayunan sadel cenderung pada posisi ayunan atas, karena titik berat badan secara alami akan diposisikan ke depan.

Fitur rangka berayun ini juga secara teknis menyulitkan pemasangan posisi sadel yang ideal. Ketika sepeda tidak ditunggangi, posisi sadel cenderung dipasang lurus. Namun demikian, saat sepeda ditunggangi pada posisi ayunan terbawah maka posisi sadel akan relatif menunduk sehingga posisi tunggangan menjadi kurang nyaman. Hal ini juga berpengaruh pada posisi tangan saat memegang setang, seringkali saya harus memegang setang dalam posisi menggantung atau mengambang (bahasa jawa: nggandhul), dikarenakan posisi duduk menurun saat posisi ayunan sadel di bawah. Dengan demikian, saya bisa membayangkan betapa melelahkan naik sepeda ini bila digunakan untuk touring jarak jauh, karena posisi badan dan tangan cenderung tegang menyesuaikan gejolak ayunan posisi sadel.

Desain lain yang cukup berbeda dari sepeda ini adalah bentuk bagasi yang langsung dibaut pada spatbord. Hal yang dalam perspektif pesepeda Indonesia mungkin dipersepsikan dengan resiko kerusakan spatbord pada saat bagasi ini digunakan untuk memboncengkan orang dewasa. Namun demikian, dalam kultur Belanda, bagasi sesungguhnya hanya berfungsi sebagai tempat membawa barang, bukan untuk memboncengkan orang. Jadi bisa disimpulkan bahwa desain bagasi seperti ini sesungguhnya tidak bermasalah untuk asumsi penggunaan bagasi sebagaimana seharusnya. Model bagasi dibaut pada spatbord juga diadopsi oleh Gazelle Tipe A produksi akhir tahun 1930s.

As tengah Simplex Zweefiets tampak menggunakan as model kecil dengan model gotri bukan model laker sebagaimana diadopsi oleh Simplex Cycloide dan sebagian Simplex Neo. Kayuhan sepeda ini sesungguhnya terasa ringan namun tetap tidak terasa spesial jika dibanding dengan kayuhan pada sepeda Simplex dengan sistem as model laker.

Sepeda Simplex Zweefiets diproduksi dalam 2 varian yakni tipe rem torpedo dan rem tromol. Untuk rem tromol, digunakan handel rem tangan seperti pada sepeda modern. Sepeda zweefiets yang diuji coba ini adalah tipe yang pertama dengan as rem belakang produksi Perry England. As roda depan dan roda belakang sama-sama berlubang 36 sebagaimana sepeda Simplex pada umumnya.

Secara umum saya bisa menyimpulkan bahwa Simplex Zweefiets sebetulnya hanya unggul dalam hal penampilan yang sangat fashionable. Namun untuk fungsi pokok sebagai alat transportasi, sepeda ini memiliki kinerja buruk pada aspek ergonomi. Sepeda ini lebih patut dikoleksi karena faktor keindahan desain dan faktor kelangkaan.

TEST RIDE: GAZELLE KWIK STEP 1964

Gazelle Kwik Step adalah sepeda lipat yang mulai diproduksi oleh pabrikan Gazelle Dieren Belanda pada tahun 1964. Sepeda ini cukup unik, karena sepeda dapat dilipat secara vertikal. Berbasis desain frame lepasan yang terletak pada tube di bawah sadel dan sumbu putar terletak tepat dibawah as tengah, maka frame sepeda bisa berputar 180 derajat. Desain sepeda lipat seperti ini sangat berbeda dibandingkan sepeda lipat merek Belanda lainnya yang cenderung memilih model pisah atau frame sepeda bisa dibelah jadi dua.

Gazelle Kwik Step yang ditampilkan kali ini adalah versi produksi pertama tahun 1964 dengan ban ukuran 24 inchi sekaligus juga merupakan varian Kwik Step terunik. Karena pada masa produksi berikutnya, desain Gazelle Kwik Step berubah menjadi menggunakan ban ukuran 22 inchi. Sepeda ini pada masanya merupakan sepeda yang sangat populer di Belanda (www.oudefiets.nl, 2010).

Test ride yang dilakukan pada Gazelle Kwik Step 1964 menunjukkan bahwa sepeda ini cukup nyaman untuk dikendarai terutama pada jalan mulus. Ban ukuran 24 X 1 3/8 yang terlihat ramping dengan velg alumunium ini, memang membuat sepeda ini terasa kurang pas bilamana dikayuh pada jalan tidak rata. Test ride pada jalan pedesaan, ban kecil menyulitkan pengendalian saat bertemu jalan berlobang, bergunduk atau berpasir. Namun demikian, disisi lain, ban kecil juga memberikan manfaat kelincahan dalam pengendalian bilamana diaplikasikan pada jalan aspal mulus.

Pada bagian baut setang dan baut kunci porok didesain dengan model mur bertuas. Tujuannya tentu saja adalah memudahkan si pengguna untuk men-set up ketinggian setang dan sadel yang paling nyaman. Desain kunci setang masih menggunakan pola lama yakni baut harus dipukul terlebih dahulu, sehingga setidaknya relatif menghambat kepraktisan dalam menset setang. Sedangkan pada setelan sadel, ada satu baut tambahan pengunci yang terletak di tube bawah sadel.

Sepeda ini menggunakan sistem rem torpedo sehingga menyederhanakan pengendalian dan memudahkan proses pelipatan. Untuk aksesori, sepeda ini menggunakan dynamo berlampu merek sobitez. Pada gambar terlihat lampu asli sudah dilepas diganti dengan lampu dynamo standar. Kemudian Setopan belakang adalah mika dengan bingkai plastic khas sepeda Gazelle tahun 1960-an. Setopan belakang juga dilindungi dengan tuas pengaman anti tabrakan belakang yang sekaligus juga bermanfaat mengamankan setopan sepeda saat sedang dilipat.

Sepeda bernomer rangka 1967293 ini karena berukuran kecil, sehingga relative berbobot ringan. Sehingga saat bertemu situasi jalan macet, sepeda ini dengan mudah bisa diangkat guna memudahkan manuver si pengendara. Dengan kontruksi frame yang sama sebagaimana frame sepeda onthel pada umumnya, maka sepeda ini tidak terlihat asing bagi yang mengendarai. Hal yang berbeda jika dibandingkan dengan sepeda Gazelle Kwik Step generasi lanjutan yang mengadopsi ban ukuran 22 inchi. Sepeda tersebut memiliki desain frame yang tidak lazim. Begitu pula dibandingkan dengan desain frame sepeda lipat Fongers M67.

Sebagai kesimpulan, sepeda Gazelle Kwik Step 1964 termasuk sepeda tergolong unik untuk dikoleksi, sepeda dengan desain frame lipat ini memberikan kemudahan baik saat dibawa maupun disimpan. Kenyamanan kayuhan ala Gazelle tetap terasa sekali pada varian sepeda ini. Satu kekurangan menonjol dari sepeda ini adalah kualitas tunggangan sadel. Sadel dengan desain khas tahun 1960-an ini, ternyata tidak cukup empuk untuk dinaiki. Meskipun orisinil, sangat disarankan untuk diganti sadel merek independent lainnya agar menambah kenyamanan dalam mengendarai sepeda ini.

FONGERS DAMESFIETS DZ60 TAHUN 1922

Dalam rangka memberikan apresiasi pada sepeda Fongers, dalam kesempatan Test Ride kali ini, saya ingin menampilkan sosok sepeda Fongers DZ 60 produksi tahun 1922. Seri DZ menurut situs www.oudefiets.nl pada era produksi tahun 1920-an adalah kategori sortir ke tiga, setelah seri BB/BD (kategori sortir A) dan seri CCG/BDG (kategori sortir B).

Penampakan dari samping, terlihat sangat klasik. Secara umum sepeda ini memiliki bobot cukup ringan sekitar 18 Kg, dibandingkan dengan sepeda dames sejenis yang beratnya sekitar 20 Kg. Jarak antara setang dan tempat duduk sangat rapat, sehingga relatif menyulitkan bilamana sepeda ini dikendarai oleh seorang pria tinggi besar.

Kontruksi rem depan dengan spatbod model separuh. Dengan desain bagian depan seperti itu, mungkin pilihan lampu dinamo menjadi kurang pas, karena selain merusak pemandangan indah, juga dinamo sulit dipasang di porok depan karena bersaing tempat dengan sistem rem depan.

Tulisan Fongers pada setang depan masih jelas terlihat rapi. Kemudian pangkal tuas rem depan dengan desain 3 baut khas Fongers.

Kontruksi setang klasik yang khas Fongers untuk model tahun awal, yakni model baut yang juga dilengkapi dengan klem pengunci setang agar tidak bergerak, misalnya si pengendara sepeda ingin akrobatik lepas tangan he..he..he..

As depan dan belakang memiliki jumlah lubang berbededa. As depan memiliki lubang 36, kemudian as belakang memiliki lubang 40 dengan sistem pengunci roda model putar yang klasik. Kombinasi lubang as yang barangkali juga tidak umum untuk sepeda onthel ukuran ban 28 inchi. Biasanya jumlah total lubang adalah 72 dengan kombinasi 32/40 atau 36/36, tetapi sepeda ini memiliki jumlah lubang 76 dengan kombinasi 36/40.

Spatbord dengan jasbeschermer model kornetten melindungi agar rok panjang noni-noni pengendara sepeda ini tidak masuk ke ruji ban. Kornetten didesain dengan pengikat sistem per, dimana satu per akan mengikat 4 titik tali sekaligus. Dan hebatnya, pada porok belakang juga sudah didesain klem khusus sebagai poros tempat kaitan per kornetten. Desain yang luar biasa indah.

Kontruksi rem belakang model teleskop. Luar biasa rancangan sistem rem yang terlihat rumit tapi sangat efisien ini. Posisi tuas rem juga unik, karena menempel pada frame sebelah kanan. Sehingga bila dilihat sekilas dari sisi kiri, seakan-akan tidak ada tuas sama sekali.

Sistem as tengah menggunakan sistem bearing. Kayuhan sepeda ini ternyata terasa sangat ringan dan nyaman.

Nomer rangka terlihat dengan jelas yakni 2237-81 yang bisa diartikan sebagai sepeda yang diproduksi tahun 1922, varian model 37, nomer produksi ke 81. Kodifikasi yang sederhana, tetapi jelas dan cukup komprehensif, karena memberikan informasi langsung mengenai tahun produksi, varian model dan nomer urut produksi. Luar biasa...!

Sadel Fongers yang aslinya disebut sebagai “gezondheidszadel” yang diproduksi oleh pabrik Hygia (Koopmans, 2007). Meskipun sadel tipe ini sesungguhnya tidak begitu nyaman ditungganggi, tetapi dari sisi desain tergolong sangat masterpiece. Sadel ini sampai hari ini masih diproduksi dibawah merek Lepper Hygia.

Setelah mencoba dan mencermati sepeda Fongers DZ60 tahun 1922 ini, persepsi saya selama ini menjadi berubah. Saya dulu selalu beranggapan sepeda Fongers itu berat kayuhannya dan melelahkan, ternyata mitos itu tidak terbukti pada kinerja sepeda ini. Sungguh sepeda ini nyaman dikendarai terutama oleh wanita yang memiliki ukuran fisik sesuai dengan desain ergonomi sepeda ini (liputan Sahid Nugroho).